
KAMPAR - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau menangkap ketua adat berinisial DM dan tiga orang lainnya terkait praktik jual-beli lahan ulayat di kawasan hutan lindung Desa Balung, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar. DM diduga mengklaim 6.000 hektare tanah ulayat dan memberikan izin pengelolaan kepada pihak lain, meskipun lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengatakan penindakan ini merupakan bagian dari Operasi Satuan Tugas Penanggulangan Perambahan Hutan (Satgas PPH), yang terdiri dari gabungan personel Krimsus, Krimum, Brimob, Intel, dan Binmas.
“Kami tidak pandang bulu. Siapa pun yang terlibat, termasuk aparat desa maupun tokoh adat, akan kami proses secara hukum,” tegas Herry dalam konferensi pers di kawasan hutan lindung Batang Ulak, Senin (9/6).
Ia menyebut perambahan hutan sebagai bentuk ekosida atau pembunuhan massal terhadap ekosistem, dan menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat kejahatan ini merupakan extraordinary crime yang berdampak lintas generasi.
Direktur Reskrimsus Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro, menjelaskan bahwa pengungkapan kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh tim Subdit IV pada 21 Mei 2025. Tim menemukan aktivitas pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Batang Ulak dan hutan produksi terbatas Batang Lipai, termasuk lahan seluas 50 hektare milik tersangka MM yang dijaga oleh seorang pria bernama Suhendra.
MM mengaku memperoleh lahan tersebut dari tersangka B dengan sistem bagi hasil, yakni 70 persen untuk MM dan 30 persen untuk B. Polisi kemudian menangkap MM, B, serta DM, dan mengamankan satu pelaku lain, MJT, yang menguasai 10 hektare lahan hasil pembelian dari tersangka R yang kini berstatus buron.
“Total luas lahan yang berhasil kami ungkap mencapai 60 hektare dari klaim tanah ulayat DM,” ujar Ade. Ia menambahkan bahwa penyelidikan masih terus dikembangkan di titik-titik lain yang telah dipantau sebelumnya.
Kapolda Riau menyampaikan bahwa operasi ini merupakan kolaborasi dengan Jikalahari, KLHK, dan unsur Forkopimda sebagai bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan dan menumbuhkan kesadaran moral kolektif dalam menjaga hutan.
“Polri hadir bukan hanya untuk melindungi manusia, tapi juga seluruh makhluk hidup dan ekosistem,” pungkas Herry.