
YOGYAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan selama 10 bulan dinilai belum mampu mencapai tujuan utamanya dalam memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia. Alih-alih meningkatkan kesehatan siswa, program ini justru menimbulkan persoalan baru, mulai dari menu yang kurang variatif hingga kasus keracunan massal di sejumlah daerah. Beberapa siswa bahkan dilaporkan meninggal akibat makanan yang disajikan dalam kondisi tidak layak konsumsi.
Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A., menilai ide MBG sejatinya sangat baik dan memiliki banyak manfaat sosial maupun ekonomi. “Program ini bisa memperbaiki gizi anak, membangun kepedulian sosial, menumbuhkan sikap tertib dan tanggung jawab, serta menciptakan lapangan kerja baru. Namun masalah muncul di delivery mechanism-nya,” ujar Agus di Yogyakarta, Jumat (3/10).
Menurut Agus, skala implementasi MBG sangat besar, mencakup lebih dari 55 juta siswa di 329 ribu sekolah, belum termasuk 20 ribu pesantren. Dengan anggaran Rp15.000 per siswa, total kebutuhan dana mencapai Rp247,95 triliun, jauh melebihi anggaran dana desa tahun 2025 yang sebesar Rp71 triliun. “Dana sebesar itu harusnya menjadi pengungkit ekonomi daerah, tapi justru muncul masalah karena mekanisme pelaksanaannya belum tepat,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah seharusnya bisa menggunakan mekanisme yang sudah terbukti berhasil seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Kartu Indonesia Pintar (KIP). Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan pendidikan seharusnya menjadi kewenangan daerah. Karena itu, Agus mendorong agar Badan Gizi Nasional (BGN) hanya berperan sebagai pengawas, sementara pelaksanaan diserahkan kepada pemerintah daerah.
Belajar dari praktik di negara maju, Agus menyarankan agar program MBG dikelola melalui kantin sekolah agar makanan tersaji segar dan higienis. Alternatif lain, dana dapat diberikan secara tunai kepada siswa, dengan melibatkan orang tua untuk menyiapkan bekal anak. Menurutnya, cara ini akan memangkas rantai distribusi, mengurangi potensi korupsi, dan memastikan dana Rp15.000 per anak benar-benar diterima utuh.
Agus juga mengungkap adanya indikasi praktik pemburuan rente oleh pelaksana program di lapangan. Dari nilai Rp15.000 per porsi, siswa hanya menerima manfaat sekitar Rp7.000. “Kalau margin Rp2.000 saja per porsi dikalikan 55 juta siswa, maka ada potensi keuntungan tidak wajar hingga Rp33,3 triliun per tahun. Ini harus dihentikan. MBG seharusnya jadi Makan Bergizi Gratis, bukan Makar Bergiri Gratis bagi segelintir pihak,” tegasnya.