
Apa jadinya jika tekanan hidup bukan datang dari masalah ekonomi atau pekerjaan, tapi dari komentar-komentar tajam para tetangga? Inilah yang coba digambarkan dalam film terbaru karya Bayu Skak, Cocote Tonggo, yang telah tayang serentak di bioskop Indonesia pada 15 Mei 2025.
Setelah sukses dengan film Yowes Ben dan Sekawan Limo, Bayu Skak kembali duduk di kursi sutradara. Ia tetap mempertahankan gaya khasnya: jenaka, mengangkat kearifan lokal, dan menyoroti isu sosial yang akrab di kehidupan sehari-hari. Kali ini, ia bekerja sama dengan Tobali Film melalui rumah produksi Skak Studios, menghadirkan cerita tentang bagaimana “cocote tonggo” atau omongan tetangga bisa menjadi tekanan yang lebih menyakitkan dari masalah keluarga itu sendiri.
Film ini berpusat pada tokoh Bu Tien, diperankan dengan kharisma oleh penyanyi legendaris Sundari Soekotjo. Bu Tien adalah pemilik toko jamu bernama Djojo, yang sudah berdiri puluhan tahun dan terkenal dengan produk unggulannya: jamu kesuburan. Sebagai pengusaha, hidup Bu Tien bisa dibilang mapan. Namun, kehidupan pribadi keluarganya tidak luput dari sasaran empuk gosip warga sekitar.
Masalah bermula saat anak semata wayangnya, Murni (Ayushita), menikah dengan Luki (Dennis Adhiswara) namun tak kunjung hamil. Di kampung, hal seperti ini sering kali jadi bahan gunjingan. Murni dicap mandul, bahkan produk jamu sang ibu ikut-ikutan jadi korban. Reputasi toko jamu Djojo merosot karena warga menganggap jamu kesuburan Bu Tien tak mujarab, jika anaknya sendiri saja tak bisa hamil.
Dalam situasi yang penuh tekanan, Murni dan Luki mulai merasa malu dan terpojok. Mereka kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu yang nekat: berpura-pura hamil setelah menemukan bayi secara tidak sengaja. Aksi tipu-tipu ini memicu banyak adegan kocak sekaligus menyentuh.
Film ini memang penuh gelak tawa, tapi di balik itu, Cocote Tonggo menyisipkan kritik sosial tentang stigma, tekanan terhadap perempuan soal kesuburan, dan bagaimana budaya malu seringkali memaksa seseorang untuk tampil sempurna di hadapan masyarakat.
Selain cerita yang kuat dan relevan, Cocote Tonggo juga diperkuat oleh jajaran pemain yang piawai di bidang komedi maupun drama. Selain Ayushita dan Dennis Adhiswara, film ini juga dibintangi oleh Asri Welas, Furry Setya, Yati Pesek, hingga Bayu Skak sendiri yang ikut berperan sebagai Gatot, tetangga yang cerewet dan penuh rasa ingin tahu.
Karakter-karakter pendukung seperti Bu Pur (Asri Welas), Pak Wira (Furry Setya), dan Mbah Mila (Yati Pesek) membuat suasana kampung terasa hidup. Mereka membawa warna tersendiri dalam film ini, mewakili beragam tipikal tetangga yang ada di lingkungan kita: dari yang sok tahu, suka nyinyir, sampai yang sebenarnya peduli tapi tak tahu cara menyampaikan.
Salah satu kekuatan Bayu Skak adalah kemampuannya mengangkat budaya Jawa dalam bentuk yang autentik dan menyenangkan. Dalam Cocote Tonggo, bahasa Jawa digunakan secara natural, tanpa terkesan dipaksakan. Nuansa kampung, gaya bicara, hingga tradisi-tradisi kecil yang akrab dalam kehidupan warga Jawa menjadi elemen penting yang memperkaya cerita.
Film ini tidak hanya cocok ditonton untuk hiburan, tetapi juga mengajak penonton untuk merenung. Di tengah tawa yang lepas, kita diajak menyadari bahwa komentar-komentar kecil bisa membawa luka besar. Mulut tetangga memang tajam, tapi siapa sangka bisa mengubah jalan hidup seseorang?