
JAKARTA – Industri otomotif nasional kembali menghadapi tekanan berat. Setelah sempat pulih dari dampak pandemi, tren penjualan mobil di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan. Hingga April 2025, penjualan mobil hanya mencapai 256.368 unit—turun 2,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyebut perlambatan ini sebagai sinyal perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perpajakan kendaraan. “Insentif memang terbukti efektif jangka pendek, tapi daya beli yang lemah akibat pajak tinggi tetap jadi penghambat utama,” kata Kukuh, Senin (19/05).
Ia mencontohkan lonjakan penjualan usai pemerintah memberikan insentif selama pandemi. Dari hanya 532.000 unit pada 2020, penjualan melonjak menjadi 867.000 unit di 2021 dan kembali menembus angka 1 juta pada 2022 dan 2023. Namun kini, target tersebut kembali sulit dicapai.
Tingginya Pajak Dinilai Tekan Daya Beli
Menurut Kukuh, harga mobil di Indonesia bisa naik hingga 50 persen dari harga pabrik karena berbagai jenis pajak, mulai dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama (BBN), hingga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). “Mobil seharga Rp 100 juta di pabrik bisa sampai Rp 150 juta di tangan konsumen. Ini jelas berat bagi masyarakat,” tegasnya.
Sebagai perbandingan, di Malaysia, total pajak mobil seperti Avanza hanya sekitar Rp 1 juta. Sementara di Indonesia, angkanya bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia juga tidak mengenakan kewajiban perpanjangan lima tahunan seperti yang diterapkan di sini.
Kukuh menambahkan, banyak jenis mobil yang seharusnya tidak tergolong barang mewah karena digunakan untuk keperluan produktif, justru terkena PPnBM. Ia menilai, perlu ada perubahan paradigma dalam merumuskan kebijakan pajak kendaraan.
Peneliti: Beban Pajak Bisa Capai 42 Persen
Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI, Riyanto, menyoroti bahwa pajak kendaraan di Indonesia bisa mencapai 42 persen dari harga jual. “Kalau mobil Rp 300 juta, artinya Rp 126 juta adalah pajak. Ini memberatkan dan harus dievaluasi,” ujarnya.
Riyanto mencatat, selama 2013 hingga 2019, meski pertumbuhan pasar stagnan, penjualan tetap di angka 1 juta unit per tahun. Kini, penurunan terus terjadi. Prediksi 2025 hanya sekitar 769.104 unit—turun 11 persen dari 2024.
Ia juga menilai insentif fiskal seperti pembebasan PPnBM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan simulasi, PPnBM 0 persen bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0,793 persen. “Pemerintah perlu hitung ulang cost and benefit dari sistem perpajakan kendaraan saat ini,” katanya.
Seruan untuk Evaluasi dan Reformasi Pajak Otomotif
Kedua narasumber sepakat bahwa Indonesia memerlukan reformasi pajak kendaraan bermotor yang lebih adil dan mendukung industri. Evaluasi terhadap PPnBM, PKB, dan BBN perlu dilakukan agar harga kendaraan lebih terjangkau dan sektor otomotif kembali bergairah.
Selain itu, insentif jangka panjang juga harus disiapkan agar industri bisa bertahan di tengah tantangan ekonomi global. “Dengan kebijakan pajak yang proporsional, industri bisa tumbuh berkelanjutan, masyarakat pun terbantu,” tutup Kukuh.