
Sumedang, Jawa Barat – Praktik pernikahan dini di Kabupaten Sumedang kini tengah menjadi perhatian publik usai terbongkarnya skandal jual beli dispensasi nikah oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumedang. Ribuan dispensasi diduga diterbitkan tanpa prosedur resmi, dan kasus ini telah meningkat ke tahap penyidikan pidana.
Kepala Kejari Sumedang, Adi Purnama, mengungkapkan bahwa penyidik menemukan bukti adanya penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan dispensasi nikah selama periode 2021–2024. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers di Kantor Kejari Sumedang, Selasa (20/5).
“Peningkatan status perkara dilakukan setelah ditemukan indikasi kuat adanya pelanggaran pidana dalam penerbitan penetapan dispensasi kawin,” ujar Adi.
1.622 Dispensasi Tak Resmi Ditemukan, Diduga Diperjualbelikan
Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan perbedaan data signifikan antara jumlah dispensasi nikah yang tercatat di Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sumedang dan Pengadilan Agama (PA) Sumedang.
Kemenag mencatat 2.455 penetapan dispensasi kawin, sedangkan PA hanya memiliki data 833 dispensasi resmi. Artinya, terdapat 1.622 dispensasi yang tidak terdaftar secara sah.
“Selisih tersebut menandakan ada ribuan dispensasi nikah yang dikeluarkan tanpa proses persidangan di pengadilan agama,” jelas Adi. Ia juga menyebut penetapan tersebut diduga dijual oleh oknum kepada masyarakat.
Modus yang dijalankan adalah menjual surat dispensasi kepada calon pengantin yang ingin menikah di bawah umur dengan biaya antara Rp 600.000 hingga Rp 1 juta per surat. Praktik ini berlangsung diam-diam dan tanpa prosedur hukum yang berlaku.
Negara Dirugikan, Oknum Kantongi Rp 1,6 Miliar
Akibat penerbitan ilegal ini, negara mengalami kerugian dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Setiap dispensasi yang sah semestinya disertai biaya PNBP yang masuk ke kas negara melalui pengadilan.
Namun, karena ribuan dispensasi tak melalui proses resmi, potensi kerugian PNBP ditaksir mencapai Rp 567,7 juta. Parahnya lagi, oknum yang terlibat justru mengantongi dana pungutan liar hingga lebih dari Rp 1,6 miliar.
“Nilai pungli yang diterima oleh oknum mencapai Rp 1.622.000.000 berdasarkan hitungan dari tarif ilegal per dispensasi,” ujar Adi.
Pihak Kejari menegaskan komitmennya untuk menindak tegas siapa pun yang terlibat, baik individu maupun jaringan yang memfasilitasi penyimpangan hukum ini. Mereka juga membuka kemungkinan pemanggilan berbagai pihak, termasuk dari internal instansi terkait.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat dalam mengawasi praktik-praktik penyimpangan yang terjadi dalam isu krusial seperti pernikahan dini. Apalagi pernikahan di usia anak dapat berdampak panjang terhadap kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi penerus bangsa.