
TANGERANG SELATAN — Ketegangan terjadi di lokasi sengketa antara BMKG dan ormas GRIB Jaya di kawasan Pondok Betung, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Sabtu (24/5). Perselisihan dipicu permintaan GRIB agar BMKG menunjukkan surat perintah eksekusi resmi dari pengadilan sebelum mengambil alih lahan yang disengketakan.
GRIB Jaya: Kami Tak Menolak, Asal Ada Prosedur Hukum
Hika, perwakilan GRIB Jaya sekaligus kuasa hukum ahli waris, menyatakan bahwa pihaknya siap menyerahkan lahan kepada BMKG asalkan dilakukan lewat mekanisme hukum yang sah.
“Silakan ambil alih tanah ini dengan mekanisme yang benar, ditandai dengan adanya surat perintah eksekusi dari pengadilan dan dibacakan oleh juru sita,” tegas Hika di hadapan perwakilan BMKG.
Meski awalnya berlangsung damai, pertemuan memanas dan berubah menjadi adu argumen. GRIB menolak pengosongan paksa lahan tanpa dasar hukum yang jelas.
Hika mempertanyakan legitimasi tindakan eksekusi tanpa surat resmi. Ia menyebut hal itu justru bisa menciptakan praktik premanisme berseragam.
“Kalau tanpa surat perintah eksekusi dari pengadilan lalu dieksekusi paksa, yang preman siapa? BMKG atau ahli waris?” ucap Hika lantang.
Ia menambahkan, putusan pengadilan tidak serta-merta bisa dijalankan tanpa proses eksekusi yang sah dan legal. “Kalau begini caranya, semua orang bisa bertindak semena-mena atas nama putusan,” tambahnya.
Di sisi lain, BMKG mengklaim bahwa lahan yang dipersoalkan adalah aset negara yang telah diduduki secara ilegal oleh kelompok masyarakat. Pihaknya sudah melaporkan hal ini ke Polda Metro Jaya lewat laporan nomor e.T/PL.04.00/001/KB/V/2025.
“BMKG memohon bantuan pihak berwenang untuk menertibkan ormas yang tanpa hak menduduki dan memanfaatkan tanah negara,” ujar Plt. Kepala Biro Hukum BMKG, Akhmad Taufan Maulana.
Lahan Sengketa Hambat Pembangunan Gedung BMKG
Tanah seluas 127.780 meter persegi itu rencananya akan digunakan untuk pembangunan gedung arsip BMKG sejak November 2023. Namun, proyek terhambat karena pendudukan oleh kelompok yang mengklaim sebagai ahli waris.
Dalam praktiknya, kelompok tersebut disebut:
-
Menghentikan aktivitas konstruksi secara paksa
-
Mengusir alat berat dari lokasi
-
Menutupi papan proyek dengan klaim “Tanah Milik Ahli Waris”
-
Memasang bendera dan plang ormas GRIB Jaya
Kasus ini memperlihatkan pentingnya transparansi proses eksekusi lahan dan peran aparat penegak hukum. Tanpa dasar hukum yang kuat, tindakan pengosongan bisa menimbulkan konflik berkepanjangan.