
Sejumlah orang tua mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai maraknya kasus perundungan terhadap anak-anak dari kelompok minoritas di lingkungan sekolah. Perbedaan latar belakang suku, agama, bahasa, hingga kondisi fisik sering menjadi alasan anak-anak mereka menjadi sasaran ejekan, pengucilan, bahkan kekerasan verbal maupun fisik dari teman sebaya.
April, salah satu orang tua, mengaku khawatir menyekolahkan anaknya di sekolah negeri di wilayah mayoritas karena takut anaknya menjadi korban bullying. "Kami yang non-(menyebut agama tertentu) pasti takut menyekolahkan anak di TK, SD, atau SMP negeri di wilayah mayoritas. Takut di-bully, dipersekusi, atau dipaksa mengikuti hal-hal tertentu," ujarnya. Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Galih Wahyudi, yang lebih memilih menyekolahkan anak di sekolah swasta untuk menghindari risiko perundungan.
Menurut Psikolog Anak dan Keluarga, Astrid WEN, bullying merupakan bentuk kekerasan yang muncul dari penyalahgunaan kuasa. Anak yang melakukan perundungan biasanya merasa lebih kuat dibandingkan korban dan memanfaatkan kekuatan tersebut untuk menyakiti atau merendahkan pihak yang dianggap lemah. "Dalam situasi sosial, kelompok yang lebih kecil, berbeda, atau minoritas biasanya rentan menjadi korban karena dianggap lemah, termasuk di sekolah," jelas Astrid.
Persepsi sosial di lingkungan sekolah turut memengaruhi munculnya perilaku bullying. Misalnya, anak dari keluarga bercerai atau yang memiliki latar belakang agama berbeda sering kali menjadi sasaran karena dianggap tidak sesuai dengan norma mayoritas. "Jika lingkungan sudah menganggap pandangannya paling benar, kekerasan terhadap minoritas lebih mudah dinormalisasi," tambah Astrid.
Faktor lain yang memperkuat terjadinya perundungan adalah tingkat kematangan berpikir anak yang masih rendah. "Pengetahuan mereka belum luas, dan kebijaksanaan dalam bersikap masih harus terus diajarkan," ujarnya. Selain itu, ada beberapa faktor internal yang membuat anak menjadi pelaku bullying, seperti keinginan untuk merasa berkuasa, pengalaman sebagai korban kekerasan sebelumnya, atau masalah emosi dan trauma mendalam.
Astrid menekankan pentingnya peran orang tua dan guru dalam mencegah dan menangani kasus bullying. "Orang tua dan guru diharapkan berani membuka mata dan melihat kondisi secara objektif," katanya. Kolaborasi antara sekolah dan keluarga diperlukan untuk mencari solusi, termasuk program intervensi perubahan perilaku bagi pelaku dan rehabilitasi bagi korban.
Beberapa upaya pencegahan yang bisa dilakukan antara lain memperbanyak diskusi tentang toleransi dan kepedulian, mengajarkan empati, serta menyediakan jalur aman bagi korban untuk melapor. "Yang paling penting adalah ketegasan untuk menegur perilaku yang salah sejak awal, agar anak belajar bahwa kekerasan bukan cara untuk mendapatkan pengakuan," tegas Astrid.
Dampak bullying terhadap anak minoritas bisa sangat serius, mulai dari menurunnya rasa percaya diri hingga trauma berkepanjangan. Oleh karena itu, penanganan yang tepat dan dukungan dari lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk memutus mata rantai perundungan di sekolah.